PENDIDIKAN BERKARAKTER, PERLUKAH?
Pemerintah
sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat
pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurutnya pembentukan karakter
perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak
usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang.
Pemerintah juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun
kepribadian bangsa. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam
dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini
dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia
Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan
telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang
piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya
lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Bahkan, bisa dikatakan,
dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat
pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai
program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar
dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang
unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.
Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena hanya merupakan pemaksaan konsep dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, kurangnya contoh keteladanan dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya! Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang berusaha menyiasati dengan intrik-intrik bagaimana supaya siswanya dapat lulus semua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter juga nantinya dapat menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter.
Suatu
bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan
guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini,
dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka,
awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang
suka berkorban”. Guru yang dimaksud bukan sekedar “guru pengajar dalam
kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik.
Guru adalah teladan. “Guru” adalah “yang digugu” (didengar) dan “yang
ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana
menjawab soal Ujian Nasional.
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, sementara rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat–adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
Pada
skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, rumah
tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari
atas sampai ke bawah,dan juga sebaliknya. Kalau para tokoh agama, dosen,
guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta
tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan
Karakter akan berujung slogan!
I do appreciate your article. I think lately there has arisen frequent, persistent, urgent demands that more attention be given to moral training in all schools. It is evident, to even the less observant, that this demand is but a murmur which forestalls the coming of a storm o protest against the absence of regular instruction in this most important subject.
BalasHapusSo instruction without character is useless.
mari kita lihat kenyataan yang ada saat ini...158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI, Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU, Ditjen Pajak, dan BI. (Sumber Litbang Kompas
BalasHapusmelihat fakta tersebut maka pendidikan berkarakter sangatlah perlu dikembangkan...aplagi belum lama ini unesa dinobatkan sebagai kampus integritas KPK.. Great..hehehe... semoga tidak hanya menjadi slogan seperti artikel d atas.. ^_^
setuju dengan pendapat teman-teman..sangat diperlukan pendidikan berkarakter itu, Karena karakter membentuk harapan untuk masa depan. Dunia telah berubah dengan sangat cepat. Maka, pendidikan karakter yang dipermasalahkan sekarang harus sepenuhnya memperhitungkan perubahan dunia pada umumnya dan perubahan Indonesia pada umumnya.
BalasHapusdiharapkan ini tidak menjadi slogan semata tapi benar-benar di realisasikan dlam dunia pendidikan di Indonesia demi kemajuan bangsa yang lebih baik.:)
mengapa negara kita perlu pendidikan berkarakter?
BalasHapusHeraclitus (500BC) : Karakter adalah takdir. Karakter menentukan nasib dari seluruh masyarakat.
Cicero (106BC): Kesejahteraan sebuah bangsa tercemin dalam karakter warga negara nya
Francis Fukuyama: Social Capital (high trust society)
dampak positif dari pendidikan berkarakter
BalasHapusKreatif, mampu memecahkan masalah, berpikir kritis, dan berpikir “outside the box”.
Pembelajar Sejati: selalu bertanya, ingin mencari jawaban, senang membaca, berpikir holistik
Pandai berkomunikasi (kemampuan berbicara efektif)
Berani mengambil resiko, berani mengambil inisiatif
Pekerja keras, etos kerja tinggi
Mempunyai integritas tinggi: jujur, dapat diandalkan, mandiri, disiplin, bertanggung jawab
Penuh kepedulian, toleran, dan flexibel
postingan yang bagus mbak aini. Pendiikan karakter memang sangat perlu. Akan tetapi pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang bisa diajarkan dalam bahasa lisan tetapi siswa - siwa membutuhkan seorang teladan yang mampu menginspirasinya untuk berkarakter. Selama lingkungan di sekitar mereka tidak mendukung mereka maka akan sangat sulit terbentuk karakter yang bagus. Hal ini ibarat membuat gungung pasir dipinggir pantai, karakter yang dibangun secara susah payah oleh sekolah tempat siswa belajar akan hilang sekejap ketika lingkungan tidak mendukungnya. thanks...
BalasHapusmengimplementasikannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jujur saja pada diri kita masing-masing, apakah anda tadi sudah mengucapkan salam kepada dosen yang anda temui? Untuk menjadikan diri berkarakte diperlukan latihan secara berkelanjutan dan membiasakan hidup kita untuk selalu dalam jiwa yang berkarater. Agar kelak jika kita menjadi seorang guru akan menjadi teladan bagi siswa kita.. untuk itu pendidikan berkarakter memang penting. "SOEWOEN"
BalasHapus